Rabu, 06 Maret 2013

SEJARAH SINGKAT PERJALANAN TEAM HIJAU PSS MENUJU SEPAKBOLA NASIONAL

SUDAH lama dan berpanjang lebar orang membicarakan bagaimana sebuah permainan sepakbola bisa baik, berkualitas tinggi. Bahkan, dalam konteks nasional, Indonesia pernah kebingungan mencari jawaban itu. Berbagai pelatih atau instruktur didatangkan dari Brasil, Jerman, Belanda dan sebagainya. Namun, toh sepakbola Indonesia tak pernah memuaskan, bahkan tekesan mengalami kemunduran.

Dari pengalaman upaya Tim Nasional Indonesia untuk membangun sebuah permainan sepakbola yang baik itu, sebenarnya ada kesimpulan yang bisa diambil. Kesimpulan itu adalah, selama ini Indonesia hanya mencoba mengkarbit kemampuan sepakbolanya dengan mendatangkan pelatih berkelas dari luar negeri. Indonesia tidak pernah membangun kultur atau budaya sepakbola secara baik. Dengan kata lain, upaya PSSI selama ini lebih membuat produk instan daripada membangun kultur dimaksud.

Pelatih berkualitas, teori dan teknik sebenarnya bukan barang sulit untuk dimiliki. Elemen-elemen itu ada dalam textbook, atau bahkan sudah di luar kepala seiring dengan meluasnya popularitas sepakbola. Indonesia termasuk gudangnya komentator. Bahkan, seorang abang becak pun bisa berbicara tentang sepakbola secara teoritis dan analitis.

Sebab itu, seperti halnya sebuah kehidupan, sepakbola membutuhkan kultur. Artinya, sepakbola harus menjadi kebiasaan atau tradisi yang melibatkan daya upaya, hasrat jiwa, interaksi berbagai unsur dan berproses secara wajar dan jujur, bertahap dan hidup.

Untuk membangun kultur sepakbola itu, jawaban terbaik adalah membangun kompetisi yang baik pula. Lewat kompetisi, tradisi sepakbola lengkap dengan segala elemennya akan berproses dan berkembang ke arah yang lebih baik. Akan lebih baik lagi kompetisi itu terbangun sejak pelakunya masih kecil, tanpa rekayasa dan manipulasi. Pada gilirannya, tradisi itu akan melahirkan sebuah permainan indah dan berkualitas, serta memiliki bentuk dan ciri khasnya tersendiri. Itu sebabnya, kenapa sepakbola Brasil, Belanda, Inggris, Jerman dan Italia tidak hanya berkualitas, tapi juga punya gaya khasnya sendiri- sendiri.

Dalam konteks kecil dan lokal, Persatuan Sepakbola Sleman (PSS), sadar atau tidak, sebenarnya telah membangun sebuah kultur sepakbolanya melalui kompetisi lokal yang rutin, disiplin dan bergairah. Berdiri tahun 1976, PSS termasuk perserikatan yang muda jika dibandingkan dengan PSIM Yogyakarta, Persis Solo, Persib Bandung, Persebaya Surabaya, PSM Makassar, PSMS Medan, Persija dan lainnya.

Namun, meski muda, PSS mampu membangun kompetisi sepakbola secara disiplin, rutin dan ketat sejak pertengahan tahun 1980-an. Kompetisi itu tak bernah terhenti sampai saat ini. Sebuah konsistensi yang luar biasa. Bahkan, kompetisi lokal PSS kini dinilai terbaik dan paling konsisten di Indonesia. Apalagi, kompetisi yang dijalankan melibatkan semua divisi, baik divisi utama, divisi I maupun divisi II. Bahkan, pernah PSS juga menggelar kompetisi divisi IIA.

Maka, tak pelak lagi, PSS kemudian memiliki sebuah kultur sepakbola yang baik. Minimal, di Sleman telah terbangun sebuah tradisi sepakbola yang meluas dan mengakar dari segala kelas. Pada gilirannya, tak menutup kemungkinan jika suatu saat PSS mampu menyuguhkan permainan fenomenal dan khas.

Ini prestasi luar biasa bagi sebuah kota kecil yang berada di bawah bayang-bayang Yogyakarta ini. Di Sleman tak ada sponsor besar, atau perusahaan-perusahaan raksasa yang bisa dimanfaatkan donasinya untuk mengembangkan sepakbola. Kompetisi itu lebih berawal dari kecintaan sepakbola, tekad, hasrat, motivasi dan kemauan yang tinggi. Semangat seluruh unsur #penonton, pemain, pelatih, pengurus dan pembina #terlihat begitu tinggi.

Meski belum optimal, PSS akhirnya menuai hasil dari tradisi sepakbola mereka. Setidaknya, PSS sudah melahirkan pemain nasional Seto Nurdiantoro. Sebuah prestasi langka bagi DIY. Terakhir, pemain nasional dari DIY adalah kiper Siswadi Gancis. Itupun ia menjadi cadangan Hermansyah. Yang lebih memuaskan, pada kompetisi tahun 1999/2000, PSS berhasil masuk jajaran elit Divisi Utama Liga Indonesia (LI).

Perjalanan PSS yang membanggakan itu bukan hal yang mudah. Meski lambat, perjalanan itu terlihat mantap dan meyakinkan. Sebelumnya, pada kompetisi tahun 1990-an, PSS masih berada di Divisi II. Tapi, secara perlahan PSS bergerak dengan mantap. Pada kompetisi tahun 1995/96, tim ini berhasil masuk Divisi I, setelah melewati perjuangan berat di kompetisi-kompetisi sebelumnya.

Dengan kata lain, PSS mengorbit di Divisi Utama LI bukan karena karbitan. Ia melewatinya dengan proses panjang. Kasus PSS menjadi contoh betapa sebuah kulturisasi sepakbola akan lebih menghasilkan prestasi yang mantap daripada produk instan yang mengandalkan ketebalan duit.

Dan memang benar, setelah bertanding di kompetisi Divisi Utama, PSS bukanlah pendatang baru yang mudah dijadikan bulan- bulanan oleh tim-tim elit. Padahal, di Divisi Utama, PSS tetap menyertakan pemain produk kompetisi lokalnya. Mereka adalah M Iksan, Slamet Riyadi, Anshori, Fajar Listiantoro dan M Muslih. Bahkan, M Ikhsan, Slamet Riyadi dan Anshori merupakan pemain berpengaruh dalam tim.

Pada penampilan perdananya, PSS langsung mengagetkan insan sepakbola Indonesia. Di luar dugaan, PSS menundukkan tim elit bergelimang uang, Pelita Solo 2-1.

Bahkan, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono sendiri yang saat itu berada di Brunei Darussalam dalam rangka promosi wisata juga kaget. Kepada Bupati Sleman Ibnu Subianto yang mengikutinya, Sri Sultan mengatakan, "Ing atase cah Sleman sing ireng-ireng biso ngalahke Pelita." Artinya, anak-anak Sleman yang hitam-hitam itu (analog orang desa) kok bisa mengalahkan tim elit Pelita Solo.

Saat itu, Ibnu Subianto menjawab, "Biar hitam nggak apa- apa tho pak, karena bupatinya juga hitam." Ini sebuah gambaran betapa prestasi PSS memang mengagetkan. Bahkan, gubernur sendiri kaget oleh prestasi anak-anaknya. Akan lebih mengagetkan lagi, jika Sri Sultan tahu proses pertandingan itu. Sebelum menang, PSS sempat ketinggalan 0-1 lebih dulu. Hasil ini menunjukkan betapa permainan PSS memiliki kemampuan dan semangat tinggi, sehingga tak minder oleh tim elit dan tak putus asa hanya karena ketinggalan. Berikutnya, tim cukup tua Gelora Dewata menjadi korbannya. Bahkan, di klasemen sementara, PSS sempat bertengger di urutan pertama.

Ketika tampil di kandang lawan, Malang United dan Barito Putra, PSS juga tak bermain cengeng. Bahkan, meski akhirnya kalah, PSS membuat tuan rumah selalu was-was. Sehingga, kekalahan itu tetap menjadi catatan mengesankan. Maka, tak heran debut PSS itu kemudian menjadi perhatian banyak orang. Hanya dalam sekejap, PSS sudah menjadi tim yang ditakuti, meski tanpa bintang.

Pembinaan sepakbola ala PSS ini akan lebih tahan banting. Sebab itu, terlalu berlebihan jika menilai PSS bakal numpang lewat di Divisi Utama.

Dengan memiliki tradisi sepakbola yang mantap dan mapan, tak menutup kemungkinan jika PSS akan memiliki kualitas sepakbola yang tinggi. Bahkan, bukan hal mustahil jika suatu saat PSS bisa juara LI.

Apa yang terjadi di Sleman sebenarnya mirip dengan yang terjadi di Bandung dengan Persib-nya dan di Surabaya dengan Persebaya-nya. Di kedua kota itu, kompetisi lokal juga berjalan dengan baik, bahkan sepakbola antarkampung (tarkam) pun kelewat banyak. Maka tak heran jika sepakbola di Bandung dan Surabaya sangat tangguh dan memiliki ciri khas tersendiri. Oleh karena itu, jika tradisi sepakbola di Sleman bisa dipertahankan bahkan dikembangkan, tak menutup kemungkinan PSS akan memiliki nama besar seperti halnya Persib atau Persebaya. Semoga!

PSS Klaim Dapatkan Wahyu Gunawan

SLEMAN-Manajemen PSS dikabarkan telah mendapatkan kesepakatan dengan eks pemain sayap kiri Arema IPL, Wahyu Gunawan, Senin (4/3/2013) siang.
“Alhamdullillah siang ini PSS Sleman sudah mnjalin kesepakatan dengan Wahyu Gunawan musim 2013 untuk menempati wing back kiri,” kata manajemen PSS, dalam akun twitter resminya @PSS_OFFICIAL1.
Pemain berusia 27 tahun itu sempat memperkuat Deltras Sidoarjo. Gunawan merupakan hasil pembinaan Akademi Arema, dan sempat membawa sepakbola PON Jatim meraih emas di PON XVII Kaltim serta mengantarkan tim POM ASEAN di Kuala Lumpur Malaysia meraih perunggu.
Selain mendapatkan Wahyu Gunawan, akun tersebut juga menyebutkan jika Super Elang Jawa-Julukan PSS, akan melakoni laga ujicoba melawan Persibangga Purbalingga, di Stadion Maguwoharjo, Sleman, Sabtu (9/3) mendatang.
Sementara untuk laga ujicoba dengan tim lokal yang rencananya bakal digelar Rabu (6/3) batal digelar.

Mayega dan Murphy Langsung Dipulangkan

SLEMAN-Manajemen PSS langsung memulangkan dua stopper Afrika, Tong Mayega Elli Maurel asal Nigeria dan Murphy Nagbe asal Liberia.
Keduanya dipulangkan setelah bermain buruk saat membela PSS dalam laga ujicoba melawan Margaria Orion, di Stadion Tridadi, Sleman, Rabu (6/3/2013).
”Padahal postur tubuh mereka bagus. Tapi lawan pemain amatir saja, mereka sudah keok,” kata pelatih PSS, Yusack Sutanto usai laga.
Mantan pelatih PPSM Sakti Magelang itu melihat keduanya kerap tertinggal langkah saat menghadang laju pemain Margaria Orion. Tak hanya itu, keduanya juga kerap kehilangan bola ketika harus duel bola atas.
Manajer PSS, Suparjiono mengatakan dari sejumlah legiun asing yang merapat, hanya Luiz Feitosa yang cocok.
”Secara keseluruhan, hanya Luis Feitosa asal Brazil saja yang kami rekrut, sedangkan yang lainnya tidak. Lha buat apa kalau pemain asing kualitasnya tidak sangat istimewa,” katanya.
Ia menambahkan, hingga sore ini, skuatnya sudah bertambah satu orang lagi menjadi 20 orang, usai bergabungnya Budi Sudarsono ke Skuad Super Elang Jawa.
”Untuk selanjutnya, Juan Revi, yang juga asal Arema, akan kami nego. Setidaknya Jumat [8/3] besok,” pungkasnya.

Rabu, 06 Februari 2013

Michel Platini

Michel Platini

Michel Fancois Platini (lahir21 Juni 1955) adalah seorang legenda sepakbola dari prancis, ia juga merupakan mantan pelatih sepakbola, dan kini beliau menjabat sebagai President UEFA (Organisasi Sepakbola Eropa) sejak 2007.


Sepanjang karir sebagai pemain sepakbola profesional, Patini tercatat pernah membela klub Nancy, Saint-Etienne, dan Juventus. di timnas prancis Platini tercatat sebagai salah satu anggota timnas Prancis yang berhasil menjuarai Piala Eropa 1984, sebuah ternamen yang membuat dirinya terpilih menjadi pemain terbaik dan tampil sebagai pencetak gol terbanyak. Bersama timnas prancis Platini pernah ikut berpartisipasi 3 kali di turnamen Piala Dunia (1978, 1984, 1986), dengan tampil 2 kali sebagai semifinalis.

Di masa timnas Prancis, Platini bersama Alain Giresse, Luis Fernandez, dan Jean Tigana, dijuluki 'Carre Magique' (dari bahasa Prancis yang artinya 'persegi sihir'. Keempatnya merupakan pemain tengah yang sangat disegani sepanjang tahun 1980an.

Platini dikenal sebagai pengumpan dan pengeksekusi tendangan bebas yang handal. 


Bermain sebagai seorang gelandang serang, Platini memiliki catatan gol yang melebihi catatan gol striker. Sebagai contoh, catatan golnya pada putaran final Piala Eropa 1984, 9 gol yang ia torehkan, hingga kini belum ada yang dapat menyamai atau bahakan melewati catatan tersebut. Rekor tersebut hanya dapat didekati oleh Van Basten, Patrick Kluivert (Belanda), Alan Shearer (Inggris), Savo Milosevic (Yugoslavia), dan Milan Baros (Rep Ceko) yang masing-masing mencetak 5 gol dan kelima nya tercatat berposisi penyerang.

Di Timnas Prancis rekor 41 golnya baru dapat dilewati Thierry Henry pada tahun 2007.


Awal Karir
Bakat Platini mulai terpantau pada usia 16 tahun, dimana Platini tampil pada turnamen Coupe Gambardella ketika ia membela tim Joeuf junior. Pelatih tim junior Metz yang menjadi lawannya pada saat itu tertarik engan penampilannya, lalu merekomendasikannya untuk mengikuti seleksi timnya. Namun sayang kesempatan itu hilang karna Platini mendapat cidera pada saat itu. Pada kesempatan kedua untuk bergabung bersama tim favorit masa kecilnya, Metz. Platini kembali gagal, kali ini disebabkan hasil analisa kesehatan dari dokter yang menyatakan Platini memiliki gangguan pernapasan dan jantung lemah.

Setelah gagal di terima di tim junior Metz, Platini akhirnya di terima untuk bergabung dengan tim cadangan Nancy yang juga klub tempat ayahnya yang keturunan Itali pernah berkarir.

KarirBersama Nancy (1972 - 1979) 
Bersama tim cadangan Nancy, Platini dengan cepat berkembang dan membuat klubnya terkesan dengan penampilannya. Platini mencetak Hat-Trick pertamanya dalam pertandingan melawan tim cadangan Wittelsheim. Tak pelak atas penampilan-penampilannya yang berkesan, Platini dipromosikan ke tim utama.
Di tim utama Platini untuk pertama kalinya tampil sebagai pemain pengganti melawan Valenciennes. Platini tampil untuk pertama kalinya sebagai starter ketika melawan Nimes pada tanggal 3 Mei 1973.

Pada bulan maret 1974 Platini mengalami keunduran ketika ia dibekap cidera dalam
pertaningan di kandang OGC Nice. Platini tidak tidak dapat menyelesaikan sisa pertandingan pada musim tersebut hingga mengakibatkan ia tidak dapat membantu Nancy menghindari zona degradasi dari Ligue 1. Namun pada musim berikutnya Platini membanti Nancy promosi kembali ke divisi pertama. Platini menjadi pemain yang paling penting di timnya kala itu dengan catatan 17 gol, beberapa gol dicetaknya melalui tendangan bebas. Saint-Etienne yang kala itu tampil sebagai juara liga prancis pun tersingkir dari Piala Prancis akibat dua gol yang dilesakan oleh Platini. 

Sekembalinya Nancy ke Ligue 1 dibarengi dengan pemanggilan Platini untuk mengikutu program wajib militer yang diselenggarakan negaranya. Hal tersebut membuatnya jarang untuk mengikuti pertandingan bersama Nancy.

Selepas kewajiban militernya, penampilan Platini semakin maksimal dan terus mengundang decak kagum. Timnas Prancis pun tidak lupa mengundanya untuk berpartisipasi mengikuti ajang Olimpiade Montreal 1976.
Sebelum mengikuti ajang Piala Dunia pertamanya pada 1978 di Argentina, Platini memenangkan trofi besar pertama dalam karirnya. Tampil sebagai kapten Nancy, Platini berhasil berhasil mengalahkan Nice di partai final Piala Prancis.
Meski sering dibekap cidera, banyak klub yang berminat menggunakan jasanya, diantaranya Paris Saint-Germain dan Saint-Etienne. Setelah kontraknya hampir berakhir bersama Nancy pada 1979, akhirnya Platini memilih bergabung dengan Saint-Etienne. 
Karir Bersama Saint-Etienne (1979 - 1982)
Saint-Etienne  mengontrak Platini agar mereka dapat menobrak prestasi klub di ajang internasional. 
Meski sempat meraih hasil yang cukup baik di ajang Champions Cup (yang kini telah beganti nama menjadi UEFA Champions League), seperti menang 6-0 atas PSV pada musim 1979-80,dan menang 5-0 atas Hamburg SV di musim  berikutnya, Platini tidak mampu membawa Saint-Etienne melampaui prestasi klub tersebut yang sebelumnya sempat mencapai babak final pada tahun 1976.

Bersama Verts Les (julukan Saint-Etienne), Platini sempat menjuarai Liga Prancis pada tahun 1981, namun gagal dua kali di partai final Piala Prancis setelah dikalahkan Bastia (1981) dan Paris Saint-Germain (1982).
Karir Bersama Juventus (1982-1987)
Setelah dianggap kurang berhasil di Saint-Etienne, di tahun 1982 Platini bergabung engan klub Itali, Juventus. Bersama tim yang seebagian besar baru saja menjuarai Piala Dunia 1982. Platini sempat mengalami kendala penyesuaian diri di dalam tim pada awalnya. Hal tersebut ikut mempengaruhi penampilan Juventus di awal musim, media itali pun terus mengkritik dan menuntut penampilan yang lebih baik dari Platini untuk Juventus.
Nyaris putus asa, Platini pun diisukan akan meninggalkan itali pada liburan musim dingin di tahun pertamanya bersama Juventus. Perlahan namun pasti, Platini meningkatkan penampilannya, bersamaan dengan perubahan taktik yang dilakukan Juventus pada pertenghan musim. Platini pun akhirnya mampu membawa Juventus hingga partai final Piala Eropa di musim pertama nya, namun akhirnya kalah dari Hamburg SV di partai final. Sebagai hiburan kepada para supporter Platini berhasil membawa Juventus menjuarai Piala Italia.
Pada musi-musim berikutnya Platini tampil semakin baik hingga memenangkan berbagai gelar bersama Juventus (Juara Liga Itali 1984 dan 1986, Piala Winners Eropa pada tahun 1984, Piala Eropa 1985 dan Piala Intercontinental 1985).
Bersama Juventus Platini tercatat sebbgai pencetak gol terbanyak di Serie-A untuk tiga musim berturut-turut (1982 - 1985).  
Pada tahun 1984 dan 1985 Platini terpilih sebagai Player of The Year oleh majalah World Soccer.

Pada final Piala Eropa tahun 1985 dimana Platini tampil sebagai juara bersama Juventus, Ia pun sekaligus menjadi saksi sejarah tragedi Heysel yang pada pertandingan tersebut terjadi kerusuhan yang mengakibatkan 39 orang meninggal dan 600an orang lika-luka.

Setelah Piala Dunia 1986 di Meksiko, Platini menghabiskan satu musim lagi di Juventus sebelum pensiun dari sepakbola pada Juni 1987.

Internasional Karir
Setelah penampilan memukau Platini pada turnamen Coupe Gambardella, Platini dipanggil untuk pertama kalinya untuk menjadi anggota Timnas Junior Prancis. Debutnya tercatat pada tanggal 26 September 1973.
Di tim Junior Platini ikut memiliki andil ketika meloloskan Prancis ke babak utama Olimpiade Montreal, 1976. Pada pertemuan pertama babak kualifikasi Olimpiade melawan Rumania. Platini membawa Prancis yang bertindak sebagai tuan rumah, memenangi pertandingan dengan skor 4-0, dan seri 1-1 pada pertemuan kedua di kandang Rumania.

Penampilan apik Platini menggoda Pelatih Timnas Senior Prancis pada saat itu, Michel Hidalgo untuk memanggilnya. Platini pun kemudian menjalani debutnya di Timnas Senior ketika Prancis melawan Cekoslovakia pada sebuah pertandingan persahabatan.

Di Olimpiade musim panas Montreal, Kanada di tahun 1976. Platini membawa Prancis tampil memukau dengan mengalahkan Mexico dan Guatemala dengan skor masing-masing 4-0, lalu seri 1-1 melawan Israel. Menjadi juara Grup membawa Pranci lolos ke babak perempat final yang mengharuskan Platini menghadapi Jerman Barat. Pada perempat, Prancis tampil anti klimaks dengan hanya menyisakan 9 pemain ketika mengakhiri pertandingan dan hasil 4-0 untuk kemenangan Jerman Barat.

Piala Dunia
Total 3 kali Platini tercatat mengikuti turnamen Piala Dunia (1978, 1982, 1986). 
Pada Piala Dunia pertamanya Platini hanya mencetak 1 gol dan gagal meloloskan Prancis ke babak perdelapan final setelah gagal bersaing dengan juara grup Itali dan tuan rumah Argentina yang pada akhirnya memenangi turnamen Piala Dunia 1978.

Di Piala Dunia 1982 Platini dapat menunjukan kelas sebagai pemain bintang. Namun Prancis hanya mampu di bawa Platini hingga semifinal setelah dikalahkan Jerman Barat lewat adu pinalti

Di Piala Dunia 1986, Mexico sekali lagi Platini harus mengakui keunggulan Jerman Barat yang kembali mengalahkan Prancis di semifinal. Platini hanya mampu menempatkan Prancis di Juara ketiga setelah mengalahkan Belgia.

Setelah gagal di Piala Dunia 1986, Platini mengumumkan pengunduran dirinya sebagai pemain sepakbola pada 29 April 198.


Pasca Pensiun
Setelah pensiun sebagai pemain, pada 1 November 1988 Platini ditunjuk mengantikan Henri Michel yang gagal membawa Prancis masuk ke putaran final 1990 di Italia. Sebagai Pelatih baru Timnas Prancis, di targetkan untuk meloloskan Prancis ke putaran final Piala Eropa 1992. Di babak kualifikasi Piala eropa, Prancis di bawah komando Platini tampil tidak terkalahkan selama 8 pertaningan baik kandang maupun tandang. Namun ketika di putaran finalnya, Platini gagal membawa prancis untuk lolos ke babak delapan besar.

Jack Brown Pilih Inggris, Emil Audero Mulyadi Jadi Kiper Italia, Ada Apa Dengan Sepakbola Indonesia?

Emil Audero Mulyadi (kiri) dan Jack Brown (kanan)/Kabarr24
JAKARTA – Publik sepakbola tanah air kembali mendapat berita menggembirakan setelah pemain sepakbola keturunan Indonesia bernama Emil Audero Mulyadi berhasil menembus tim utama Juventus.
Meski tidak dibawa oleh pelatih Antonio Conte ke Juventus Stadium saat melawan Sampdoria hari Minggu (6/1) kemarin, sudah dipilih dan ikut berlatih bersama tim utama merupakan pengalaman berharga, apalagi usia Emil baru 15 tahun, sebuah usia yang panjang untuk ukuran penjaga gawang yang bisa mencapai 40 tahun.
Walau masih sulit ditebak apakah pria kelahiran Nusa Tenggara Barat ini bakal menggantikan Gianluigi Buffon di skuat utama, Emil digadang-gadang bakal mempunyai karir panjang dan sukses.
Selain Emil, Indonesia masih mempunyai banyak pemain berbakat lainnya, salahsatunya adalah Jack Brown. Bocah berusia 11 tahun ini mencuri perhatian masyarakat pecinta sepakbola Indonesia usai dirinya menjadi juara di The World Final Skill Test 2012 Manchester United Soccer Schools, di Old Trafford, dengan meraih skor tertinggi.
Tak tanggung-tanggung, dalam kompetisi itu Jack berhasil mengalahkan para pemain yang berusia 5 sampai 6 tahun diatasnya. Bocah berbadan mungil ini pun langsung diprediksi bisa menjadi pemain yang bisa sukses di Eropa, karena mempunyai kemampuan yang kumplit. Apalagi MU kerap mengorbitkan pemain dari akademinya macam generasi emas, David Beckham, Ryan Giggs dan Paul Scholes.
Kabar mengenai banyaknya pemain berbakat keturunan Indonesia ini pun langsung membuat publik pecinta sepakbola sumringah dan berharap dua anak muda ini mau membela Indonesia tercinta di masa depan dan mengangkat prestasi timnas PSSI yang kini sedang terpuruk.
Tapi apa lacur, kondisi iklim sepakbola Indonesia yang tidak harmonis membuat dua talenta berbakat ini akhirnya memilih membela negara orang. Emil Audero Mulyadi sudah didaulat menjadi kiper utama tim Italia usia 16 tahun dan telah menyatakan akan membela Italia di masa depan karena hanya mempunyai paspor Italia.
Setali tiga uang dengan Emil, Jack juga lebih memilih untuk mengenakan seragam tim nasional Inggris di masa mendatang. Dalam sebuah wawancara dengan salahsatu stasiun tv, Jack mengaku sudah bertekad membela The Three Lions.
Sayang memang jika Indonesia akhirnya kehilangan dua talenta berbakat yang kemampuannya sudah diakui raksasa Eropa macam MU dan Juve. Tapi apa mau dikata, bagaimana pemain muda ingin menetap di negara sendiri jika pengurus sepakbola di negeri ini saja masih berebut kekuasaan.
Dualisme organisasi antara PSSI dan KPSI yang tak kunjung usai dan pengelolaan liga yang masih kacau seperti gaji yang menunggak membuat para pemain muda lebih memilih hujan emas di negeri orang ketimbang hujan batu di negeri sendiri.
Jika saja para pengurus PSSI dan KPSI mau menemukan kata sepakat untuk membangun sepakbola dan memujudkan mimpi masyrakat Indonesia yang berjumlah 250 juta orang ini dengan menembus Piala Dunia 2022, maka bersatu harus mulai dari sekarang, bukan besok dan juga bukan nanti. (Kabar24/ad)

Just Fontaine

Just Fontaine

Just  Fontaine atau yang biasa dipanggil “Justo” dilahirkan di Marrakech, Maroko. Ayahnya adalah orang Maroko dan Ibunya berasal dari Spanyol.
Just Fontain adalah seorang legenda sepakbola yang pernah mencatatkan dirinya sebagai pencetak gol terbanyak di babak final Piala Dunia 1958 dengan mencetak 13 gol dari 6 penampilannya.
Prestasi tersebut mencatatkan dirinya sebagai pemegang rekor pencetak gol terbanyak dalam satu kompetisi Piala Dunia yang belum terpecahkan hingga kini dan berada di peringkat ke empat sebagai pencetak gol terbanyak di sepanjang turnamen Piala Dunia di bawah Ronaldo dari Brasil dengan 15 Gol (dengan 4 kali tampil di Piala Dunia), Gerd Muller dari Jerman (2 kali tampil di Piala Dunia), dan Mirosklav Klose juga dari Jerman (3 kali tampil di Piala Dunia) dengan 14 Gol. Meskipun Just Fontain tidak dapat membawa Prancis menjuarai Piala Dunia 1958, ia tetap dikenang selain karna 13 golnya, ia juga menjadi pemain kedua setelah Alcides Ghiggia yang selalu mencetak gol di setiap peertandingan pada sebuah pegelaran Piala Dunia
Karir klub
Fontain memulai karirnya sebagai pemain amatir bersama klub  USM Casablanca, dimana ia bermain sejak tahun 1950 hingga 1953. Kemudian pada tahun yang sama, salah satu klub yang bermain di Liga Prancis merekrutnya, Nice. Fontain membela Nice selama 3 tahun dengan torehan 44 gol sebelum klub Prancis lainnya merekrutnya, Stade Reims. Di klub barunya Fontain mencapai puncak karirnya, total 165 gol ia cetak dalam 200 pertandingannya membela Stade de Reims. Ia pun sempat merasakan dua kali Juara Liga pada tahun 1958 dan 1960.
Timnas
Berasama timnas Prancis, Fontain melakukan debutnya pada 17 Desember 1953 dengan mencetak Hattrick ke gawang Lexemburg. Selama 7 tahun membela timnas Prancis Fontain mencetak 30 gol dari 21 penampilnnya. Dan penampilannya yang paling diingat tentunya ketika Ia tampil di Piala Dunia 1958

Pensiun
Just Fontain mengakhiri karir sebagai pemain sepakbolanya pada usia yang masih relatif muda, 29 tahun setelah pertandingan terakhirnya pada juli 1962 membuat ia cidera parah. Keadian tersebut membuatnya mengambil keputusan untuk pensiun lebih awal.
Setelah pensiun Fontain sempat menangani timnas Prancis pada 1967. Sayang, dua kekalahan pada pertndingan resmi perdanannya membuatnya dari jabatan tersebut       

Pada Maret 2004 Fontain masuk dalam daftar 125 pemain sepakbola terbaik Dunia yang daftarnya dikeluarkan FIFA

Alfredo Di Stefano

Alfredo Di Stefano

Alfredo Di Stéfano Laulhé lahir 4 juli 1926 di Buenos Aires, Argentina dari keluarga Italia yang berimigrasi ke argentina. Alfredo seorang pesepakbola dengan posisi pemain depan yang pernah membela tiga negara : Argentina, kolombia, dan Spanyol karena pada saat itu FIFA belum menetapkan peraturan; mengenai seorang pemain sepakbola yang hanya dapat memperkuat satu negara seperti sekarang. Bersama tim Argentina Alfredo sempat membela tim Tango sebanyak 6 kali, bersama Kolombia Ia sempat bermain empat kali, dan bersama Spanyol Alfredo bermain sebanyak 31 kali. Namun Ia tidak pernah sekalipun bermain di putaran final Piala Dunia. Alfredo tercatat sebagai salah satu legenda sepakbola yang tidak pernah tampil di putaran final Piala Dunia

Piala Dunia
Pada penyelengaraan Piala Dunia 1950, Alfredo menolak bergabung membela timnas Argentina. Empat tahun kemudian Argentina tidak ikut berpatisipasi pada ajang Piala Dunia 1954. Pada kesempatan terakhirnya tampil di Piala Dunia bersama Argentina pada tahun 1958, Alfredo telah berganti kewarganegaraan Spanyol. Pada qualifikasi Piala Dunia 1958, Alfredo gagal membawa spanyol lolos ke babak utama. Di kesempatan berikutnya untuk ikut berpartisipasi di Piala Dunia 1962 bersama Spanyol, Alfredo berhasil meloloskan Spanyol ke babak utama. Namun sayang beberapa saat sebelum penyelenggaraan Alfredo dibekap cidera, yang membuatnya harus istirahat hingga penyelenggaraan Piala Dunia 1962 usai.


Awal Karir
Alfredo meniti karir sepakbola profesionalnya bersama River Plate di usia 17 tahun (1943). Bermain bersama River Plate Ia sempat menorehkan tinta emas dengan menjadi juara Primera Division (1945, 1947), top skor (1947), dan menempatkan River di posisi Runner-Up kejuaraan South American Club Championship (1948). Pada tahun 1949 Alfredo hijrah ke klub Kolombia, Millonarios. Selama empat tahun di Kolombia, Alfredo membawa klub Millonarios menjadi juara Colombian Championship selama empat tahun berturut-turut(1949-1953).

Prestasi di Kolombia mengundang Real Madrid untuk membeli Alfredo. Bersama Real Madrid Alfredo mencapai pencapaian puncak karir nya. Berpatner dengan Frec Puskas Ia menghantarkan Real Madrid menjadi Raja Eropa dengan menjuarai Europan Cup lima kali berturut-turut (1955/1956, 1956/1957, 1957/1958, 1958/1959, dan 1959/1960). Setelah mencetak 216 gol dari 282 penampilanya selama sebelas tahun bersama Real Madrid Alfredo pindah ke Espanyol selama dua tahun sebelum pensiun pada tahun 1966.

Alfredo bersama 5 tropi Piala Champion

Prestasi 'Alfredo Di Stefano' di Sepakbola sebagai pemain :

Timnas Argentina
  • Copa America : 1947
Club
  • Argentina Primera Division : 1945 , 1947 (River Plate)
  • Runner-Up South America Championship : 1948 (River Plate)
  • Colombian Championship : 1949, 1951,1952 (Millonarios)
  • Copa Colombia : 1953 (Millonarios)
  • Copa Bodas de Oro del Real Madrid : 1952 (Millonarios)
  • Pequena Copa del Munde de Clubs :1953 (Millonarios)
  • Spanish Primera Division : 1954,1955,1957,1958,1961,1962,1963,1964 ( Real Madrid ) 
  • Copa Del Rey : 1962 ( Real Madrid )
  • European Cup : 1955-56,1956-57,1957-58,1958-59, 1959-1960 ( Real Madrid )
  • Intercontinental Cup : 1960 ( Real Madrid )
  • Latin Cup : 1955, 1957 ( Real Madrid )
  • Pequena Copa del Munde de Clubs : 1956 ( Real Madrid )  
Prestasi Individu
  • Argentine League Top Skor  : 1947
  • Colombian League Top Skor :  1951, 1952
  • Pichichi Trophy :1954, 1956, 1957, 1958, 1959
  • Balon D'Or : 1957, 1959
  • European Cup Top Skor : 1958, 1962
  • Spanish Player (Athelete) of the year : 1957, 1958, 1960, 1964
  • FIFA 100

Prestasi 'Alfredo Di Stefano' di Sepakbola sebagai pelatih :
  • Argentine Primera Division : 1969 (Boca Juniors), 1981 (River Plate)
  • Spanish Primera Division : 1971 ( Valencia ),
  • Spanish Runner-Up Primera Division : 1972 ( VAlencia ), 1983, 1984 ( Real Madrid )
  • Runner - Up Copa Del Rey : 1971, 1972 (Valencia), 1983, 1984 (Real Madrid)
  • Runner - Up Copa De La Liga : 1983 ( Real Madrid )
  • European Winners Cup : 1980 ( Valencia )
  • Runner - Up Winners Cup : 1983 ( Real Madrid )
  • Super Copa De espana ( Real Madrid )
  • Segunda Division : 1987 ( Valencia )
 Pasca Pensiun
Setelah pensiun Di Stefano, tetap mengabdikan dirinya di dunia sepakbola. Ia menjadi pelatih beberapa tim sepakbola profesional. Tim-tim yang pernah di asuhnya antaralain :